Nabi Zakariya A.S
Nabi Zakaria
adalah ayah dari Nabi Yahya putera tunggalnya yang lahir setelah ia mencapai
usia sembilan puluh tahun. Sejak beristeri Hanna, ibu saudaranya Maryam,
Zakaria mendambakan mendapat anak yang akan menjadi pewarisnya. Siang dan malam
tiada henti-hentinya ia memanjatkan doanya dan permohonan kepada Allah agar
dikurniai seorang putera yang akan dapat meneruskan tugasnya memimpin Bani
Israil. Ia khuatir bahawa bila ia mati tanpa meninggalkan seorang pengganti,
kaumnya akan kehilangan pemimpin dan akan kembali kepada cara-cara hidup mereka
yang penuh dengan mungkar dan kemaksiatan dan bahkan mungkin mereka akan
mengubah syariat Musa dengan menambah atau mengurangi isi kitab Taurat
sekehendak hati mereka. Selain itu, ia sebagai manusia, ingin pula agar
keturunannya tidak terputus dan terus bersambung dari generasi sepanjang Allah
mengizinkannya dan memperkenankan.
Nabi Zakaria tiap hari sebagai tugas rutin pergi ke mihrab besar melakukan sembahyang serta menjenguk Maryam anak iparnya yang diserahkan kepada mihrab oleh ibunya sesuai dengan nadzarnya sewaktu ia masih dalam kandungan. Dan memang Zakarialah yang ditugaskan oleh para pengurus mihrab untuk mengawasi Maryam sejak ia diserahkan oleh ibunya. Tugas pengawasan atas diri Maryam diterima oleh Zakaria melalui undian yang dilakukan oleh para pengurus mihrab di kala menerima bayi Maryam yang diserahkan pengawasannya kepadanya itu adalah anak saudara isterinya sendiri yang hingga saat itu belum dikurniai seorang anak pun oleh Tuhan.
Suatu peristiwa yang sangat menakjubkan dan menghairankan Zakaria telah terjadi pada suatu hari ketika ia datang ke mihrab sebagaimana biasa. Ia melihat Maryam disalah satu sudut mihrab sedang tenggelam dalam sembahyangnya sehingga tidak menghiraukan bapa saudaranya yang datang menjenguknya. Di depan Maryam yang sedang asyik bersembahyang itu terlihat oleh Zakaria berbagai jenis buah-buahan musim panas. Bertanya-tanya Nabi Zakaria dalam hatinya, dari mana datangnya buah-buahan musim panas ini, padahal mereka masih berada dalam musim dingin. Ia tidak sabar menanti anak saudaranya selesai sembahyang, ia lalu mendekatinya dan menegur bertanya kepadanya: "Wahai Maryam, dari manakah engkau dapat ini semua?"
Maryam menjawab: "Ini adalah pemberian Allah yang aku dapat tanpa kucari dan aku minta. Diwaktu pagi dikala matahari terbit aku mendapatkan rezekiku ini sudah berada didepan mataku, demikian pula bila matahari terbenam di waktu senja. Mengapa bapa saudaranya merasa hairan dan takjub? Bukankah Allah berkuasa memberikan rezekinya kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan?"
Maryam binti Imran
Maryam yang disebut-sebut dalam kisah Zakaria adalah anak tunggal dari Imran seorang daripada pemuka-pemuka dam ulama Bani Isra'il. Ibunya saudara ipar dari Nabi Zakaria adalah seorang perempuan yang mandul yang sejak bersuamikan Imran belum merasa berbahagia jika belum memperoleh anak. Ia merasa hidup tanpa anak adalah sunyi dan membosankan. Ia sangat mendambakan keturunan untuk menjadi pengikat yang kuat dalam kehidupan bersuami-isteri, penglipur duka dan pembawa suka di dalam kehidupan keluarga. Ia sangat akan keturunan sehingga bila ia melihat seorang ibu menggandung bayinya atau burung memberi makan kepada anaknya, ia merasa iri hati dan terus menjadikan kenangan yang tak kunjung lepas dari ingatannya.
Tahun demi tahun berlalu, usia makin hari makin lanjut, namun keinginan tetap tinggal keinginan dan idam-idaman tetap tidak menjelma menjadi kenyataan. Berbagai cara dicubanya dan berbagai nasihat dan petunjuk orang diterapkannya, namun belum juga membawa hasil. Dan setelah segala daya upaya yang bersumber dari kepandaian dan kekuasaan manusia tidak membawa buah yang diharapkan, sedarlah isteri Imran bahawa hanya Allah tempat satu-satunya yang berkuasa memenuhi keinginannya dan sanggup mengurniainya dengan seorang anak yang didambakan walaupun rambutnya sudah beruban dan usianya sudah lanjut. Maka ia bertekad membulatkan harapannya hanya kepada Allah bersujud siang dan malam dengan penuh khusyuk dan kerendahan hati bernadzar dan berjanji kepada Allah bila permohonannya dikalbulkan, akan menyerahkan dan menghibahkan anaknya ke Baitul Maqdis untuk menjadi pelayan, penjaga dan memelihara rumah suci itu dan sesekali tidak akan mengambil manfaat dari anaknya untuk kepentingan dirinya atau kepentingan keluarganya.
Harapan isteri Imran yang dibulatkan kepada Allah tidak tersia-sia. Allah telah menerima permohonannya dan mempersembahkan doanya sesuai dengan apa yang telah disuratkan dalam takdir-Nya bahwa dari suami isteri Imran akan diturunkan seorang nabi besar. Maka tanda-tanda permulaan kehamilan yang dirasakan oleh setiap perempuan yang mengandung tampak pada isteri Imran yang lama kelamaan merasa gerakan janin di dalam perutnya yang makin membesar. Alangkah bahagia si isteri yang sedang hamil itu, bahawa idam-idamannya itu akan menjadi kenyataan dan kesunyian rumah tangganya akan terpecahlah bila bayi yang dikandungkan itu lahir. Ia bersama suami mulai merancang apa yang akan diberikan kepada bayi yang akan datang itu. Jika mereka sedang duduk berduaan tidak ada yang diperbincangkan selain soal bayi yang akan dilahirkan. Suasana suram sedih yang selalu meliputi rumah tangga Imran berbalik menjadi riang gembira, wajah sepasang suami isteri Imaran menjadi berseri-seri tanda suka cita dan bahagia dan rasa putus asa yang mencekam hati mereka berdua berbalik menjadi rasa penuh harapan akan hari kemudian yang baik dan cemerlang.
Akan tetapi sangat benarlah kata mutiara yang berbunyi: "Manusia merancang, Tuhan menentukan. Imran yang sangat dicintai dan sayangi oleh isterinya dan diharapkan akan menerima putera pertamanya serta mendampinginya dikala ia melahirkan , tiba-tiba direnggut nyawanya oleh Izra'il dan meninggallah isterinya seorang diri dalam keadaan hamil tua, pada saat mana biasanya rasa cinta kasih sayang antara suami isteri menjadi makin mesra.
Rasa sedih yang ditinggalkan oleh suami yang disayangi bercampur dengan rasa sakit dan letih yang didahului kelahiran si bayi, menimpa isteri Imran di saat-saat dekatnya masa melahirkan. Maka setelah segala persiapan untuk menyambut kedatangan bayi telah dilakukan dengan sempurna lahirlah ia dari kandungan ibunya yang malang menghirup udara bebas. Agak kecewalah si ibu janda Imran setelah mengetahui bahawa bayi yang lahir itu adalah seorang puteri sedangkan ia menanti seorang putera yang telah dijanjikan dan bernadzar untuk dihibahkan kepada Baitulmaqdis. Dengan nada kecewa dan suara sedih berucaplah ia seraya menghadapkan wajahnya ke atas: "Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan seorang puteri, sedangkan aku bernadzar akan menyerahkan seorang putera yang lebih layak menjadi pelayan dan pengurus Baitulmaqdis. Allah akan mendidik puterinya itu dengan pendidikan yang baik dan akan menjadikan Zakaria, iparnya dan bapa saudara Maryam sebagai pengawas dan pemeliharanya.
Demikianlah maka tatkala Maryam diserahkan oleh ibunya kepada pengurus Baitulmaqdis, para rahib berebutan masing-masing ingin ditunjuk sebagai wali yang bertanggungjawab atas pengawasan dan pemeliharaan Maryam. Dan kerana tidak ada yang mahu mengalah, maka terpaksalah diundi diantara mereka yang akhirnya undian jatuh kepada Zakaria sebagaimana dijanjikan oleh Allah kepada ibunya.
Tindakan pertama yang diambil oleh Zakaria sebagai petugas yang diwajibkan menjaga keselamatan Maryam ialah menjauhkannya dari keramaian sekeliling dan dari jangkauan para pengunjung yang tiada henti-hentinya berdatangan ingin melihat dan menjenguknya. Ia ditempatkan oleh Zakaria di sebuah kamar diatas loteng Baitulmaqdis yang tinggi yang tidak dapat dicapai melainkan dengan menggunakan sebuah tangga.Zakarian merasa bangga dan bahagia beruntung memenangkan undian memperolehi tugas mengawasi dan memelihara Maryam secara sah adalah anak saudaranya sendiri. Ia mencurahkan cinta dan kasih sayangnya sepenuhnya kepada Maryam untuk menggantikan anak kandungnya yang tidak kunjung datang. Tiap ada kesempatan ia datang menjenguknya, melihat keadaannya, mengurus keperluannya dan menyediakan segala sesuatu yang membawa ketenangan dan kegembiraan baginya. Tidak satu hari pun Zakaria pernah meninggalkan tugasnya menjenguk Maryam.
Rasa cinta dan kasih sayang Zakaria terhadap Maryam sebagai anak saudra isterinya yang ditinggalkan ayahnya meningkat menjadi rasa hormat dan takzim tatkala terjadi suatu peristiwa yang menandakan bahawa Maryam bukanlah gadis biasa sebagaimana gadis-gadis yang lain, tetapi ia adalah wanita pilihan Allah untuk suatu kedudukan dan peranan besar di kemudian hari.
Pada suatu hari tatkala Zakaria datang sebagaimana biasa, mengunjungi Maryam, ia mendapatinya lagi berada di mihrabnya tenggelam dalam ibadah berzikir dan bersujud kepada Allah. Ia terperanjat ketika pandangan matanya menangkap hidangan makanan berupa buah-buahan musim panas terletak di depan Maryam yang lagi bersujud. Ia lalu bertanya dalam hatinya, dari manakah gerangan buah-buahan itu datang, padahal mereka masih lagi berada pada musim dingin dan setahu Zakaria tidak seorang pun selain dari dirinya yang datang mengunjungi Maryam. Maka ditegurlah Maryam tatkala setelah selesai ia bersujud dan mengangkat kepala: "Wahai Maryam, dari manakah engkau memperolehi rezeki ini, padahal tidak seorang pun mengunjungimu dan tidak pula engkau pernah meninggalkan mihrabmu? Selain itu buah-buahan ini adalah buah-buahan musim panas yang tidak dapat dibeli di pasar dalam musim dingin ini."
Maryam menjawab: "Inilah peberian Allah kepadaku tanpa aku berusaha atau minta. Dan mengapa engkau merasa hairan dan takjub? Bukankah Allah Yang Maha Berkuasa memberikan rezekinya kepada sesiapa yang Dia kehendaki dalam bilangan yang tidak ternilai besarnya?"
Demikianlah Allah telah memberikan tanda pertamanya sebagai mukjizat bagi Maryam, gadis suci, yang dipersiapkan oleh-Nya untuk melahirkan seorang nabi besar yang bernama Isa Almasih a.s.
Kisah lahirnya Maryam dan pemeliharaan Zakaria kepadanya dapat dibaca dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 35 hingga 37 dan 42 hingga 44.
Nabi Zakaria tiap hari sebagai tugas rutin pergi ke mihrab besar melakukan sembahyang serta menjenguk Maryam anak iparnya yang diserahkan kepada mihrab oleh ibunya sesuai dengan nadzarnya sewaktu ia masih dalam kandungan. Dan memang Zakarialah yang ditugaskan oleh para pengurus mihrab untuk mengawasi Maryam sejak ia diserahkan oleh ibunya. Tugas pengawasan atas diri Maryam diterima oleh Zakaria melalui undian yang dilakukan oleh para pengurus mihrab di kala menerima bayi Maryam yang diserahkan pengawasannya kepadanya itu adalah anak saudara isterinya sendiri yang hingga saat itu belum dikurniai seorang anak pun oleh Tuhan.
Suatu peristiwa yang sangat menakjubkan dan menghairankan Zakaria telah terjadi pada suatu hari ketika ia datang ke mihrab sebagaimana biasa. Ia melihat Maryam disalah satu sudut mihrab sedang tenggelam dalam sembahyangnya sehingga tidak menghiraukan bapa saudaranya yang datang menjenguknya. Di depan Maryam yang sedang asyik bersembahyang itu terlihat oleh Zakaria berbagai jenis buah-buahan musim panas. Bertanya-tanya Nabi Zakaria dalam hatinya, dari mana datangnya buah-buahan musim panas ini, padahal mereka masih berada dalam musim dingin. Ia tidak sabar menanti anak saudaranya selesai sembahyang, ia lalu mendekatinya dan menegur bertanya kepadanya: "Wahai Maryam, dari manakah engkau dapat ini semua?"
Maryam menjawab: "Ini adalah pemberian Allah yang aku dapat tanpa kucari dan aku minta. Diwaktu pagi dikala matahari terbit aku mendapatkan rezekiku ini sudah berada didepan mataku, demikian pula bila matahari terbenam di waktu senja. Mengapa bapa saudaranya merasa hairan dan takjub? Bukankah Allah berkuasa memberikan rezekinya kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan?"
Maryam binti Imran
Maryam yang disebut-sebut dalam kisah Zakaria adalah anak tunggal dari Imran seorang daripada pemuka-pemuka dam ulama Bani Isra'il. Ibunya saudara ipar dari Nabi Zakaria adalah seorang perempuan yang mandul yang sejak bersuamikan Imran belum merasa berbahagia jika belum memperoleh anak. Ia merasa hidup tanpa anak adalah sunyi dan membosankan. Ia sangat mendambakan keturunan untuk menjadi pengikat yang kuat dalam kehidupan bersuami-isteri, penglipur duka dan pembawa suka di dalam kehidupan keluarga. Ia sangat akan keturunan sehingga bila ia melihat seorang ibu menggandung bayinya atau burung memberi makan kepada anaknya, ia merasa iri hati dan terus menjadikan kenangan yang tak kunjung lepas dari ingatannya.
Tahun demi tahun berlalu, usia makin hari makin lanjut, namun keinginan tetap tinggal keinginan dan idam-idaman tetap tidak menjelma menjadi kenyataan. Berbagai cara dicubanya dan berbagai nasihat dan petunjuk orang diterapkannya, namun belum juga membawa hasil. Dan setelah segala daya upaya yang bersumber dari kepandaian dan kekuasaan manusia tidak membawa buah yang diharapkan, sedarlah isteri Imran bahawa hanya Allah tempat satu-satunya yang berkuasa memenuhi keinginannya dan sanggup mengurniainya dengan seorang anak yang didambakan walaupun rambutnya sudah beruban dan usianya sudah lanjut. Maka ia bertekad membulatkan harapannya hanya kepada Allah bersujud siang dan malam dengan penuh khusyuk dan kerendahan hati bernadzar dan berjanji kepada Allah bila permohonannya dikalbulkan, akan menyerahkan dan menghibahkan anaknya ke Baitul Maqdis untuk menjadi pelayan, penjaga dan memelihara rumah suci itu dan sesekali tidak akan mengambil manfaat dari anaknya untuk kepentingan dirinya atau kepentingan keluarganya.
Harapan isteri Imran yang dibulatkan kepada Allah tidak tersia-sia. Allah telah menerima permohonannya dan mempersembahkan doanya sesuai dengan apa yang telah disuratkan dalam takdir-Nya bahwa dari suami isteri Imran akan diturunkan seorang nabi besar. Maka tanda-tanda permulaan kehamilan yang dirasakan oleh setiap perempuan yang mengandung tampak pada isteri Imran yang lama kelamaan merasa gerakan janin di dalam perutnya yang makin membesar. Alangkah bahagia si isteri yang sedang hamil itu, bahawa idam-idamannya itu akan menjadi kenyataan dan kesunyian rumah tangganya akan terpecahlah bila bayi yang dikandungkan itu lahir. Ia bersama suami mulai merancang apa yang akan diberikan kepada bayi yang akan datang itu. Jika mereka sedang duduk berduaan tidak ada yang diperbincangkan selain soal bayi yang akan dilahirkan. Suasana suram sedih yang selalu meliputi rumah tangga Imran berbalik menjadi riang gembira, wajah sepasang suami isteri Imaran menjadi berseri-seri tanda suka cita dan bahagia dan rasa putus asa yang mencekam hati mereka berdua berbalik menjadi rasa penuh harapan akan hari kemudian yang baik dan cemerlang.
Akan tetapi sangat benarlah kata mutiara yang berbunyi: "Manusia merancang, Tuhan menentukan. Imran yang sangat dicintai dan sayangi oleh isterinya dan diharapkan akan menerima putera pertamanya serta mendampinginya dikala ia melahirkan , tiba-tiba direnggut nyawanya oleh Izra'il dan meninggallah isterinya seorang diri dalam keadaan hamil tua, pada saat mana biasanya rasa cinta kasih sayang antara suami isteri menjadi makin mesra.
Rasa sedih yang ditinggalkan oleh suami yang disayangi bercampur dengan rasa sakit dan letih yang didahului kelahiran si bayi, menimpa isteri Imran di saat-saat dekatnya masa melahirkan. Maka setelah segala persiapan untuk menyambut kedatangan bayi telah dilakukan dengan sempurna lahirlah ia dari kandungan ibunya yang malang menghirup udara bebas. Agak kecewalah si ibu janda Imran setelah mengetahui bahawa bayi yang lahir itu adalah seorang puteri sedangkan ia menanti seorang putera yang telah dijanjikan dan bernadzar untuk dihibahkan kepada Baitulmaqdis. Dengan nada kecewa dan suara sedih berucaplah ia seraya menghadapkan wajahnya ke atas: "Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan seorang puteri, sedangkan aku bernadzar akan menyerahkan seorang putera yang lebih layak menjadi pelayan dan pengurus Baitulmaqdis. Allah akan mendidik puterinya itu dengan pendidikan yang baik dan akan menjadikan Zakaria, iparnya dan bapa saudara Maryam sebagai pengawas dan pemeliharanya.
Demikianlah maka tatkala Maryam diserahkan oleh ibunya kepada pengurus Baitulmaqdis, para rahib berebutan masing-masing ingin ditunjuk sebagai wali yang bertanggungjawab atas pengawasan dan pemeliharaan Maryam. Dan kerana tidak ada yang mahu mengalah, maka terpaksalah diundi diantara mereka yang akhirnya undian jatuh kepada Zakaria sebagaimana dijanjikan oleh Allah kepada ibunya.
Tindakan pertama yang diambil oleh Zakaria sebagai petugas yang diwajibkan menjaga keselamatan Maryam ialah menjauhkannya dari keramaian sekeliling dan dari jangkauan para pengunjung yang tiada henti-hentinya berdatangan ingin melihat dan menjenguknya. Ia ditempatkan oleh Zakaria di sebuah kamar diatas loteng Baitulmaqdis yang tinggi yang tidak dapat dicapai melainkan dengan menggunakan sebuah tangga.Zakarian merasa bangga dan bahagia beruntung memenangkan undian memperolehi tugas mengawasi dan memelihara Maryam secara sah adalah anak saudaranya sendiri. Ia mencurahkan cinta dan kasih sayangnya sepenuhnya kepada Maryam untuk menggantikan anak kandungnya yang tidak kunjung datang. Tiap ada kesempatan ia datang menjenguknya, melihat keadaannya, mengurus keperluannya dan menyediakan segala sesuatu yang membawa ketenangan dan kegembiraan baginya. Tidak satu hari pun Zakaria pernah meninggalkan tugasnya menjenguk Maryam.
Rasa cinta dan kasih sayang Zakaria terhadap Maryam sebagai anak saudra isterinya yang ditinggalkan ayahnya meningkat menjadi rasa hormat dan takzim tatkala terjadi suatu peristiwa yang menandakan bahawa Maryam bukanlah gadis biasa sebagaimana gadis-gadis yang lain, tetapi ia adalah wanita pilihan Allah untuk suatu kedudukan dan peranan besar di kemudian hari.
Pada suatu hari tatkala Zakaria datang sebagaimana biasa, mengunjungi Maryam, ia mendapatinya lagi berada di mihrabnya tenggelam dalam ibadah berzikir dan bersujud kepada Allah. Ia terperanjat ketika pandangan matanya menangkap hidangan makanan berupa buah-buahan musim panas terletak di depan Maryam yang lagi bersujud. Ia lalu bertanya dalam hatinya, dari manakah gerangan buah-buahan itu datang, padahal mereka masih lagi berada pada musim dingin dan setahu Zakaria tidak seorang pun selain dari dirinya yang datang mengunjungi Maryam. Maka ditegurlah Maryam tatkala setelah selesai ia bersujud dan mengangkat kepala: "Wahai Maryam, dari manakah engkau memperolehi rezeki ini, padahal tidak seorang pun mengunjungimu dan tidak pula engkau pernah meninggalkan mihrabmu? Selain itu buah-buahan ini adalah buah-buahan musim panas yang tidak dapat dibeli di pasar dalam musim dingin ini."
Maryam menjawab: "Inilah peberian Allah kepadaku tanpa aku berusaha atau minta. Dan mengapa engkau merasa hairan dan takjub? Bukankah Allah Yang Maha Berkuasa memberikan rezekinya kepada sesiapa yang Dia kehendaki dalam bilangan yang tidak ternilai besarnya?"
Demikianlah Allah telah memberikan tanda pertamanya sebagai mukjizat bagi Maryam, gadis suci, yang dipersiapkan oleh-Nya untuk melahirkan seorang nabi besar yang bernama Isa Almasih a.s.
Kisah lahirnya Maryam dan pemeliharaan Zakaria kepadanya dapat dibaca dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 35 hingga 37 dan 42 hingga 44.
Nabi Khidir ditugaskan membimbing Nabi Musa yang hidup
dizamannya, sebagaimana kita sekarang wajib menyampaikan dakwah kepada orang
lain disekeliling kita. Beliau tidak dikurniakan Mukjizat seperti Nabi Musa
sebaliknya diajarkan ilmu secara Laduni. Hal ini turut dimiliki Para Wali Allah
dan Alim Ulama yang dianugerahkan Allah Ilmu Makrifat serta Kasyaf.
Golongan ini selalu berhati-hati untuk tidak membusungkan dada dengan Ilmu yang
mereka miliki. Sifat Warak dan merendah diri pada beliau inilah yang diamalkan
oleh para Wali Allah seperti Syekh Abdul Qadir Jailani yang namanya senantiasa
disebut-sebut sampai hari ini walaupun telah wafat ribuan tahun yang lampau.
Salah satu kisah Al-Qur’an yang sangat mengagumkan dan dipenuhi
dengan misteri, kisah seorang hamba yang Allah SWT memberinya rahmat dari
sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Yang mana kisah tersebut terdapat dalam surah
al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak
akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku
akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah bertekad untuk
meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu
mencapai majma’ al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Seandainya tempat itu
harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an
al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Qur’an tidak
menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan
nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang
tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu
ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan
dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi
karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan
dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan
takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, bahkan Al-Qur’an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah
ini.
Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
“Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.”(QS. al-Kahfi: 65)
Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang
dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa AS agar ia dapat belajar
darinya. Nabi Musa adalah seorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT
dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat
tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan
kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi
seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan
menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu yang didalam hadis yang
suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as. Musa berjalan bersama hamba yang
menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa
kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu
Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau
ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa
yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan
simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan
kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan
oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian
tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti
apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya
menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar
biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku
hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika
menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian
dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para
nabi pun sulit memahaminya. Kisah ini menunjukam bahwa adanya hamba-hamba Allah
SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada
“cemburu” dengan ilmu mereka. Kisah ini di awali pada saat Nabi Musa as
berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah
Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Setelah beliau menyampaikan
pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka
bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada
emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.” Allah SWT tidak setuju dengan
jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai
Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?”
Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali
berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang
berada di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Musa
bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan
perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan
melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Di sanalah mereka
mendapatkan seorang lelaki yang dijelaskan oleh Al-Qur’an:
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba -hamba
Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. “
Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus
pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat
fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut
itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya
ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada
muridnya: ‘Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena
perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya
kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh
sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. “(QS.
al-Kahfi: 61-65)
Firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah
kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Allah SWT berfirman:
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki
perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu
itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah
berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku
telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan
aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih
itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau
memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada
penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan
dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan
dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk
itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua
orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan
mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki
supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik
kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu
dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai
kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian
itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia
memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia
memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik
itu terdapat rahmat yang besar.
Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan
sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya
baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan. Mula-mula Nabi Allah SWT
Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia
menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari
tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
(dari berbagai sumber)
Kesimpulan :
- Suatu ilmu yang dijalankan oleh para ahli Sufi tidak semuanya harus dipertanyakan karena sudah mengandung hakikat bukan lagi syari’at.
- Kepatuhan dan kesabaran adalah kunci dari Ilmu hakikat, karena dari kepatuhan dan kesabaran itulah ke-Ikhlasan akan muncul tanpa disadari. (STAR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar